Minggu, 06 Juli 2014

Jendela Tanpa Darah

Dari balik sebuah jendela, seorang lelaki nampak murung dan terluka. Matanya tertuju pada kamar di seberang dengan lampu yang belum redup. Sudah jam tiga pagi dan sang pemilik kamar masih sibuk dengan urusannya. Gorden kuning keemasan yang tersibak, mempertontonkan bayangan adegan liar seorang perempuan dan tamunya yang tak kunjung pulang. Ia menghisap rokoknya, membayangkan senyuman perempuan yang kerap menemaninya di hari yang sepi. Tetapi dini hari ini ia tak menginjak karpet merah di kamar perempuan itu. Matanya fokus memperhatikan kamar seberang, membiarkan angin malam menamparnya dengan mesra.
Asap rokok berhamburan ke segala arah, menyelimuti jendela yang menaungi endapan emosi dalam kepalanya. Di depannya, tiga bungkus rokok telah dihabiskan dengan rakus. Mengingat dia telah termenung di balik jendela itu sejak malam hari, matanya belum letih mengamati keremangan di kamar seberang dan mulutnya masih khusyuk menghisap rokok. Sebatang demi sebatang, abu rokok pun berserakan. Barangkali dia juga sedang menunggu sesuatu yang berarti, atau hanya sekadar menenangkan diri. Sebab, tak ada yang memperhatikannya semalaman, orang-orang lalu lalang dan menghilang di kegelapan. Semuanya menggendong kepalsuan diri. Dikejar-kejar gengsi dan selalu merasa benar sendiri.
Angin menyusup lembut, menggerakkan anak-anak rambutnya yang berjambul. Udara dingin tak terperi, musim hujan memang selalu meninggalkan gigil dan malas. Dihisapnya batang rokok yang terakhir sembari tetap mengamati kamar di seberang. Matanya sayu, tubuhnya ringkih, dan tenggorokannya kering kerontang. Ada kepedihan yang disembunyikan, entah tentang kehidupan atau hanya sebuah keinginan yang tak kunjung terwujud. Dini hari ini ia kembali mengingat apa yang dilihatnya semalam, atau lebih tepatnya beberapa tahun belakangan, keningnya akan kembali mengkerut dan lidahnya kelu. Setiap kali mengingat betapa kerasnya sebuah perjuangan dan kepedihan yang berlarut-larut. Tentang hidup, tentang semangat aneh yang tak kunjung redup.
Dia telah melewati harinya dengan penuh keterpaksaan, tanpa menggunakan hatinya. Setiap kali berada di balik jendela itu, dia selalu merasa sangat rapuh. Menjadi manusia yang paling menderita, atau bahkan menganggap dirinya sendiri bukan manusia. Dalam kepalanya, terselip kembali kejadian-kejadian semalam. Ketika langkah-langkah kaki manusia mulai melemah karena keegoisan, senyuman-senyuman palsu kembali muncul di antara kepala-kepala manusia yang nampak kosong tak berisi. Di dadanya, ada semacam rasa sesak tak terhingga yang menghancurkan seluruh tulang rusuknya. Jika dirontgen, kau akan menemukan tulang rusuknya sudah remuk tak berbentuk.
Di samping kanannya, sebuah apartemen belum selesai dibangun. Tiap pagi, tukang bangunan selalu berperang dengan sinar matahari, menimbulkan bunyi yang memekikkan telinga. Sudah Sembilan bulan, namun apartemen tersebut tak kunjung selesai. Ada yang bilang dana pembangunannya dikorupsi, sebagian lagi berpendapat bahwa sang penanam modal telah bangkrut sebab terlalu sering menikah dengan janda seksi. Tetapi di matanya, apartemen itu seperti anak kecil yang sedang disuapi tetapi tidak pernah merasa kenyang.
Di bawah sana, seorang ibu dan kedua anaknya yang masih kecil sibuk memunguti sisa makanan orang China. Bau daging babi yang dipanggang dengan berbagai macam bumbu aneh, dijadikan menu khusus atau bahkan utama di restoran-restoran China terkemuka. Anak-anak itu membawa karung di kedua tangannya. Sayup-sayup terdengar percakapan di antara mereka.  
“Aku lapar, Bu!” Seru anak yang paling kecil, sambil memegangi perutnya.
“Di tempat sampah hanya ada daging babi sisa, Nak. Kita tidak boleh makan makanan yang diharamkan agama kita!” Ibunya sedikit membentak, mempercepat langkahnya.
Keningnya mengkerut. Di tempat ia bekerja, jika ada daging babi tersisa, maka ia dan teman-temannya akan segera melahap dengan cepat. Tidak peduli haram atau halal, yang penting perut bisa kenyang. Namun percakapan yang ia dengar tadi laksana sebuah peluru besar yang ditembakkan ke perutnya. Perutnya hancur dan seluruh isinya berhamburan kemana-mana, ke segala arah. Betapa memalukan perilakunya saat itu, memakan daging yang seharusnya tak ia makan, dan lebih memilih menghamburkan uangnya untuk berjudi daripada membeli makanan yang lebih layak. Ia kini merasa pusig dan mual. Segala kekacauan di sekelilingnya selalu mempengaruhi apa yang ia pikirkan dan rasakan. Biasanya, ia akan menemui perempuan itu di kamar seberang jalan. Mengobrol tentang hidup dan berakhir dengan seprai yang berantakan.
Akhir-akhir ini rupanya banyak sekali tamu yang datang tiap malam. Perempuan itu tentu tak bisa menemuinya, meski hanya sekadar untuk berbagi kata. Kini hasratnya tak menentu, emosinya tiba di ujung yang paling riskan. Ia tak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Merasakan rindu yang tak terbalaskan, matanya menunjukkan kesedihan luar biasa. Bibirnya kelu dan tubuhnya seperti tidak dialiri darah. Kamar di seberang masih remang ketika ia menyalakan rokok untuk kesekian kalinya. Slide-slide kenangan merambat di otaknya, menayangkan adegan yang hampir ia lupakan. Sebuah pertemuan singkat dengan seorang perempuan bermata coklat, di bawah jendela yang selalu ia singgahi tiap kali rindu pada kampung halamannya. Tetapi, tidak ada bangunan tinggi di kampungnya, dan tidak ada keremangan seperti yang ia lihat saat ini.
Sebatang rokok kembali habis, seolah membakar perasaannya. Keningnya tak lagi mengkerut, tetapi hatinya kini benar-benar sudah kusut. Perempuan itu tempat yang paling nyaman untuknya bersandar. Sebuah kesegaran di tengah kehampaan yang semakin dipupuk dalam jiwanya. Tiap kali menyalakan rokok baru, ia akan kembali mengingat serpihan-serpihan cerita yang pernah ia lalui dahulu. Senja perlahan memerah, pagi yang selalu membuat jengkel, siang yang membosankan, dan sore yang selalu seperti biasanya. Malam yang selalu membuat gigil dan dini hari yang memanas.
Jendela itulah teman sejatinya, tempatnya memikirkan berbagai macam persoalan yang selalu membuat kepalanya berat, hampir meledak. Sebagai karyawan teladan di kantornya, ia akan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk para konsumen. Ia adalah koki profesional yang mempunyai prinsip kuat: tidak akan pernah membuat makanan yang tidak enak. Seorang koki handal harus membuat konsumen menghabiskan makanannya. Dari pagi hingga sore hari, ia berada di dapur restoran tempatnya bekerja. Malam hari, ia akan tertidur dan biasanya seperti saat inisetiap dini hari, ia akan melihat keremangan di balik gorden kamar di seberang jalan.
Sang penghuni kamar, perempuan cantik yang membekukan hatinya, tak pernah sedetik pun lepas dari ingatannya. Tentang pertemuan pertama, tentang parfum di seprainya, dan hal-hal kecil lain yang menempel di sisa-sisa ingatannya yang sudah mulai memudar. Senyuman perempuan itu, tidak pernah bisa dilupakan. Selalu teringat dan terimpan rapih dalam sebuah kotak di memori otaknya yang sudah lama tak digunakan untuk berpikir bahwa hidup yang sedang ia jalani sekarang adalah pengabdian yang sia-sia.
Tetapi, meski rokok miliknya telah habis, lampu kamar itu tak jua menyala. Kemudian, dilihatnya bulan sudah mulai memudar dan di ujung timur, sinar keemasan mengintip dengan gagah. Lalu matanya tiba-tiba memerah dan tubuhnya merapuh, runtuh. Sejurus ia melihat ke bawah, para pemulung dan manusia gerobak tengah menikmati tidur panjangnya yang sepertinya, sama sekali tidak nyaman. Apartemen masih berdiri kokoh, meski diragukan kesempurnaanya, dan yang ada di kepalanya hanyalah keremangan di kamar seberang. Beberapa taksi lewat dengan santai dan dedaunan gugur dari pohon-pohon yang ditanam di seberang jalan.
Rokok sudah habis dan rasa dalam dadanya kian membuncah, merasuk hingga ke empedu. Lelaki itu selalu duduk di jendela tiap dini hari, mencaci tiap tamu yang datang di kamar seberang. Selalu berpikir tentang kekacauan hidupnya tanpa mencoba memperbaiki, dan selalu merindukan perempuan bermata coklat yang tinggal di apartemen seberang restoran tempatnya bekerja. Segala kekacauan, baginya, hanya bisa lenyap ketika matanya, memandang mata coklat sang perempuan malam. Terhuyung-huyung, ia melompat dari jendela tempatnya termenung. Merasakan dirinya terbang, menembus jendela kamar di seberang jalan, membuang kerinduan yang seharusnya tak pernah ada.
Tetapi--sekali lagi--seperti biasanya, sejak berminggu-minggu yang lalu, kamar itu tetap remang tiap dini hari. Selalu bau sisa daging babi, pembangunan apartemen yang tidak pernah selesai, percakapan para pemulung, dan selalu ada rindu yang tidak pernah terselamatkan. Langit semakin cerah, bercak darah mengalir di sepanjang tembok bawah jendela.
Kamar seberang tiba-tiba menyalakan lampunya ketika orang-orang saling berteriak, “ada darah mengalir dari jendela di atas sana!”
“Bukan, itu bukan darah! Itu rindu milikku!” Seru lelaki itu menggebu-gebu.
Tetapi, tak seorang pun bisa mendengar suaranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar