Dari balik sebuah jendela, seorang
lelaki nampak murung dan terluka. Matanya tertuju pada kamar di seberang dengan
lampu yang belum redup. Sudah jam tiga pagi dan sang pemilik kamar masih sibuk
dengan urusannya. Gorden kuning keemasan yang tersibak, mempertontonkan
bayangan adegan liar seorang perempuan dan tamunya yang tak kunjung pulang. Ia
menghisap rokoknya, membayangkan senyuman perempuan yang kerap menemaninya di
hari yang sepi. Tetapi dini hari ini ia tak menginjak karpet merah di kamar
perempuan itu. Matanya fokus memperhatikan kamar seberang, membiarkan angin
malam menamparnya dengan mesra.
Asap rokok berhamburan ke segala arah,
menyelimuti jendela yang menaungi endapan emosi dalam kepalanya. Di depannya,
tiga bungkus rokok telah dihabiskan dengan rakus. Mengingat dia telah termenung
di balik jendela itu sejak malam hari, matanya belum letih mengamati keremangan
di kamar seberang dan mulutnya masih khusyuk menghisap rokok. Sebatang demi
sebatang, abu rokok pun berserakan. Barangkali dia juga sedang menunggu sesuatu
yang berarti, atau hanya sekadar menenangkan diri. Sebab, tak ada yang
memperhatikannya semalaman, orang-orang lalu lalang dan menghilang di
kegelapan. Semuanya menggendong kepalsuan diri. Dikejar-kejar gengsi dan selalu
merasa benar sendiri.
Angin menyusup lembut, menggerakkan
anak-anak rambutnya yang berjambul. Udara dingin tak terperi, musim hujan
memang selalu meninggalkan gigil dan malas. Dihisapnya batang rokok yang
terakhir sembari tetap mengamati kamar di seberang. Matanya sayu, tubuhnya
ringkih, dan tenggorokannya kering kerontang. Ada kepedihan yang disembunyikan,
entah tentang kehidupan atau hanya sebuah keinginan yang tak kunjung terwujud.
Dini hari ini ia kembali mengingat apa yang dilihatnya semalam, atau lebih
tepatnya beberapa tahun belakangan, keningnya akan kembali mengkerut dan
lidahnya kelu. Setiap kali mengingat betapa kerasnya sebuah perjuangan dan
kepedihan yang berlarut-larut. Tentang hidup, tentang semangat aneh yang tak
kunjung redup.
Dia telah melewati harinya dengan penuh
keterpaksaan, tanpa menggunakan hatinya. Setiap kali berada di balik jendela
itu, dia selalu merasa sangat rapuh. Menjadi manusia yang paling menderita,
atau bahkan menganggap dirinya sendiri bukan manusia. Dalam kepalanya, terselip
kembali kejadian-kejadian semalam. Ketika langkah-langkah kaki manusia mulai
melemah karena keegoisan, senyuman-senyuman palsu kembali muncul di antara
kepala-kepala manusia yang nampak kosong tak berisi. Di dadanya, ada semacam
rasa sesak tak terhingga yang menghancurkan seluruh tulang rusuknya. Jika
dirontgen, kau akan menemukan tulang rusuknya sudah remuk tak berbentuk.
Di samping kanannya, sebuah apartemen
belum selesai dibangun. Tiap pagi, tukang bangunan selalu berperang dengan
sinar matahari, menimbulkan bunyi yang memekikkan telinga. Sudah Sembilan
bulan, namun apartemen tersebut tak kunjung selesai. Ada yang bilang dana
pembangunannya dikorupsi, sebagian lagi berpendapat bahwa sang penanam modal
telah bangkrut sebab terlalu sering menikah dengan janda seksi. Tetapi di
matanya, apartemen itu seperti anak kecil yang sedang disuapi tetapi tidak
pernah merasa kenyang.
Di bawah sana, seorang ibu dan kedua
anaknya yang masih kecil sibuk memunguti sisa makanan orang China. Bau daging
babi yang dipanggang dengan berbagai macam bumbu aneh, dijadikan menu khusus
atau bahkan utama di restoran-restoran China terkemuka. Anak-anak itu membawa
karung di kedua tangannya. Sayup-sayup terdengar percakapan di antara mereka.
“Aku lapar, Bu!” Seru anak yang paling
kecil, sambil memegangi perutnya.
“Di tempat sampah hanya ada daging babi
sisa, Nak. Kita tidak boleh makan makanan yang diharamkan agama kita!” Ibunya
sedikit membentak, mempercepat langkahnya.
Keningnya mengkerut. Di tempat ia
bekerja, jika ada daging babi tersisa, maka ia dan teman-temannya akan segera
melahap dengan cepat. Tidak peduli haram atau halal, yang penting perut bisa
kenyang. Namun percakapan yang ia dengar tadi laksana sebuah peluru besar yang
ditembakkan ke perutnya. Perutnya hancur dan seluruh isinya berhamburan
kemana-mana, ke segala arah. Betapa memalukan perilakunya saat itu, memakan
daging yang seharusnya tak ia makan, dan lebih memilih menghamburkan uangnya
untuk berjudi daripada membeli makanan yang lebih layak. Ia kini merasa pusig
dan mual. Segala kekacauan di sekelilingnya selalu mempengaruhi apa yang ia
pikirkan dan rasakan. Biasanya, ia akan menemui perempuan itu di kamar seberang
jalan. Mengobrol tentang hidup dan berakhir dengan seprai yang berantakan.
Akhir-akhir ini rupanya banyak sekali
tamu yang datang tiap malam. Perempuan itu tentu tak bisa menemuinya, meski
hanya sekadar untuk berbagi kata. Kini hasratnya tak menentu, emosinya tiba di
ujung yang paling riskan. Ia tak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Merasakan rindu
yang tak terbalaskan, matanya menunjukkan kesedihan luar biasa. Bibirnya kelu
dan tubuhnya seperti tidak dialiri darah. Kamar di seberang masih remang ketika
ia menyalakan rokok untuk kesekian kalinya. Slide-slide kenangan merambat di
otaknya, menayangkan adegan yang hampir ia lupakan. Sebuah pertemuan singkat
dengan seorang perempuan bermata coklat, di bawah jendela yang selalu ia
singgahi tiap kali rindu pada kampung halamannya. Tetapi, tidak ada bangunan
tinggi di kampungnya, dan tidak ada keremangan seperti yang ia lihat saat ini.
Sebatang rokok kembali habis, seolah
membakar perasaannya. Keningnya tak lagi mengkerut, tetapi hatinya kini
benar-benar sudah kusut. Perempuan itu tempat yang paling nyaman untuknya
bersandar. Sebuah kesegaran di tengah kehampaan yang semakin dipupuk dalam
jiwanya. Tiap kali menyalakan rokok baru, ia akan kembali mengingat
serpihan-serpihan cerita yang pernah ia lalui dahulu. Senja perlahan memerah,
pagi yang selalu membuat jengkel, siang yang membosankan, dan sore yang selalu
seperti biasanya. Malam yang selalu membuat gigil dan dini hari yang memanas.
Jendela itulah teman sejatinya,
tempatnya memikirkan berbagai macam persoalan yang selalu membuat kepalanya
berat, hampir meledak. Sebagai karyawan teladan di kantornya, ia akan selalu
berusaha memberikan yang terbaik untuk para konsumen. Ia adalah koki
profesional yang mempunyai prinsip kuat: tidak akan pernah membuat makanan yang
tidak enak. Seorang koki handal harus membuat konsumen menghabiskan makanannya.
Dari pagi hingga sore hari, ia berada di dapur restoran tempatnya bekerja.
Malam hari, ia akan tertidur dan biasanya seperti saat inisetiap dini hari, ia
akan melihat keremangan di balik gorden kamar di seberang jalan.
Sang penghuni kamar, perempuan cantik
yang membekukan hatinya, tak pernah sedetik pun lepas dari ingatannya. Tentang
pertemuan pertama, tentang parfum di seprainya, dan hal-hal kecil lain yang
menempel di sisa-sisa ingatannya yang sudah mulai memudar. Senyuman perempuan
itu, tidak pernah bisa dilupakan. Selalu teringat dan terimpan rapih dalam
sebuah kotak di memori otaknya yang sudah lama tak digunakan untuk berpikir
bahwa hidup yang sedang ia jalani sekarang adalah pengabdian yang sia-sia.
Tetapi, meski rokok miliknya telah
habis, lampu kamar itu tak jua menyala. Kemudian, dilihatnya bulan sudah mulai
memudar dan di ujung timur, sinar keemasan mengintip dengan gagah. Lalu matanya
tiba-tiba memerah dan tubuhnya merapuh, runtuh. Sejurus ia melihat ke bawah,
para pemulung dan manusia gerobak tengah menikmati tidur panjangnya yang
sepertinya, sama sekali tidak nyaman. Apartemen masih berdiri kokoh, meski
diragukan kesempurnaanya, dan yang ada di kepalanya hanyalah keremangan di
kamar seberang. Beberapa taksi lewat dengan santai dan dedaunan gugur dari
pohon-pohon yang ditanam di seberang jalan.
Rokok sudah habis dan rasa dalam dadanya
kian membuncah, merasuk hingga ke empedu. Lelaki itu selalu duduk di jendela
tiap dini hari, mencaci tiap tamu yang datang di kamar seberang. Selalu
berpikir tentang kekacauan hidupnya tanpa mencoba memperbaiki, dan selalu
merindukan perempuan bermata coklat yang tinggal di apartemen seberang restoran
tempatnya bekerja. Segala kekacauan, baginya, hanya bisa lenyap ketika matanya,
memandang mata coklat sang perempuan malam. Terhuyung-huyung, ia melompat dari
jendela tempatnya termenung. Merasakan dirinya terbang, menembus jendela kamar
di seberang jalan, membuang kerinduan yang seharusnya tak pernah ada.
Tetapi--sekali lagi--seperti biasanya,
sejak berminggu-minggu yang lalu, kamar itu tetap remang tiap dini hari. Selalu
bau sisa daging babi, pembangunan apartemen yang tidak pernah selesai,
percakapan para pemulung, dan selalu ada rindu yang tidak pernah terselamatkan.
Langit semakin cerah, bercak darah mengalir di sepanjang tembok bawah jendela.
Kamar seberang tiba-tiba menyalakan
lampunya ketika orang-orang saling berteriak, “ada darah mengalir dari jendela
di atas sana!”
“Bukan, itu bukan darah! Itu rindu
milikku!” Seru lelaki itu menggebu-gebu.
Tetapi, tak seorang pun bisa mendengar suaranya.